JAKARTA - Sektor nikel Indonesia sedang menghadapi dinamika berat yang memengaruhi prospek para emiten di bidang ini. Salah satu faktor utama adalah kebijakan baru yang diterapkan oleh pemerintah China berupa bea masuk antidumping (BMAD) untuk baja nirkarat atau stainless steel, yang berdampak langsung pada produk turunan nikel seperti feronikel, nickel pig iron (NPI), dan nickel matte. Kebijakan ini berpotensi mengubah lanskap bisnis dan strategi perusahaan produsen nikel dalam negeri.
China sebagai salah satu pasar terbesar bagi produk baja nirkarat dari Indonesia telah memutuskan untuk mengenakan tarif antidumping sebesar 20,2 persen untuk periode lima tahun ke depan. Kebijakan ini secara langsung membebani ekspor produk baja nirkarat yang menjadi konsumen utama bahan baku olahan nikel yang diproduksi oleh sejumlah smelter di Indonesia, khususnya yang menggunakan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF). Teknologi ini cukup mendominasi industri smelter nikel tanah air, sehingga kebijakan BMAD tersebut dapat memberikan tekanan besar pada pelaku usaha yang bergantung pada ekspor ke China.
Ekky Topan, seorang Investment Analyst dari Infovesta Utama, menilai bahwa kebijakan BMAD akan berpengaruh signifikan terhadap keberlangsungan bisnis emiten nikel yang memiliki fasilitas smelter berbasis RKEF, termasuk PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Dia menegaskan bahwa kebijakan ini dapat menyebabkan koreksi harga nikel di pasar serta penurunan volume ekspor.
Dampak kebijakan ini juga tidak hanya dirasakan oleh perusahaan yang sudah memiliki smelter, tetapi juga emiten nikel yang belum memiliki fasilitas pengolahan. Penurunan harga jual komoditas dan potensi pengurangan produksi dari smelter sebagai respons terhadap kebijakan BMAD membuat produk nikel mentah atau olahan lain juga berisiko sulit terserap pasar, khususnya pasar China yang selama ini sangat signifikan.
“Daya saing produk olahan Indonesia juga tergerus karena beban tarif tambahan tersebut yang berisiko menghambat ekspansi ke pasar China sebagai konsumen terbesar,” jelas Ekky. Kondisi ini menandakan perlunya langkah strategis dari pelaku usaha untuk mengatasi hambatan perdagangan ini.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Provina Visindo Indy Naila, Investment Analyst dari Edvisor, mengungkapkan kekhawatirannya mengenai potensi penurunan volume ekspor baja nirkarat akibat BMAD. Kondisi ini berpotensi menyebabkan kelebihan pasokan nikel di dalam negeri dalam jangka pendek, mengingat industri baja nirkarat sebagai pengguna utama bahan baku nikel mengalami penurunan permintaan.
Dalam situasi seperti ini, emiten nikel dituntut untuk memperkuat strategi efisiensi operasional agar mampu bertahan dan tetap kompetitif. Selain itu, diversifikasi pasar ekspor menjadi opsi penting untuk mengurangi ketergantungan pada pasar China. Penyelidikan peluang ekspor ke wilayah lain seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara Asia lainnya menjadi langkah yang perlu dipercepat agar risiko bisnis dapat diminimalkan.
Indy juga menekankan pentingnya pengembangan produk bernilai tambah, khususnya dalam proyek nikel sulfat yang menjadi bahan utama baterai kendaraan listrik. Dengan fokus pada hilirisasi dan produk berteknologi tinggi, emiten nikel dapat memperkuat posisi mereka di pasar global yang semakin kompetitif dan dinamis.
Secara makro, penguatan strategi hilirisasi mineral di Indonesia menjadi kebutuhan mendesak untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan proteksi yang diberlakukan negara lain. Transformasi industri dari produk olahan dasar seperti baja nirkarat menuju produk jadi dengan nilai tambah tinggi harus menjadi fokus kebijakan nasional. Pendekatan ini dapat mengurangi ketergantungan terhadap ekspor bahan baku dan meningkatkan daya saing produk domestik.
Selain opsi diversifikasi pasar dan hilirisasi, Ekky menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan untuk melakukan negosiasi ulang dengan otoritas China guna mencari solusi terbaik yang dapat melindungi keberlangsungan ekspor Indonesia. Langkah diplomasi ini penting untuk menjaga hubungan dagang sekaligus memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan BMAD.
Meski kebijakan BMAD menjadi sorotan, emiten nikel masih menghadapi tantangan lain berupa tren penurunan harga komoditas yang berlangsung beberapa tahun terakhir. Penyebabnya adalah kelebihan pasokan global dan penurunan permintaan dari China yang merupakan pasar terbesar nikel dunia. Tren ini menambah tekanan pada kinerja perusahaan-perusahaan di sektor ini.
Namun demikian, prospek jangka panjang emiten nikel masih cukup positif. Permintaan nikel dari industri kendaraan listrik diprediksi akan terus meningkat seiring pertumbuhan pasar kendaraan listrik di dunia. Jika tekanan geopolitik global berkurang dan pengembangan hilirisasi dalam negeri berjalan lancar, peluang pemulihan harga dan permintaan nikel akan terbuka lebar.
Dari sisi investasi, Ekky memandang saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) masih menarik untuk dikoleksi dalam momentum saat ini. Target harga saham INCO diperkirakan bergerak ke kisaran Rp 4.350 per saham, menjadikan saham ini pilihan utama bagi investor yang ingin memanfaatkan peluang pemulihan.
Sementara itu, untuk saham lapis kedua (second liner), PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) menunjukkan tren bullish yang kuat dengan target harga antara Rp 500 hingga Rp 530 per saham. Namun, mengingat volatilitas harga komoditas yang cukup tinggi, strategi disiplin untuk cut loss sangat dianjurkan jika terjadi penurunan tren harga saham.
Berbeda dengan Ekky, Indy merekomendasikan saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) sebagai pilihan yang menarik dengan target harga Rp 3.500 per saham. Indy melihat potensi pemulihan harga nikel seiring meningkatnya kebutuhan bahan baku baterai kendaraan listrik, walaupun risiko ketidakpastian geopolitik dan kelebihan pasokan tetap menjadi faktor penghambat yang harus diwaspadai.
Secara keseluruhan, kebijakan BMAD China merupakan tantangan nyata bagi pelaku usaha nikel di Indonesia. Namun, dengan strategi tepat seperti efisiensi operasional, diversifikasi pasar, pengembangan produk bernilai tambah, serta negosiasi diplomatik, peluang untuk bertahan dan bahkan tumbuh tetap terbuka. Industri nikel nasional perlu beradaptasi dengan cepat agar dapat menghadapi perubahan global dan mempertahankan daya saingnya di masa depan.