JAKARTA - Alih-alih hanya menjadi momok bencana, musim penghujan yang berlangsung lebih lama dari biasanya kini menunjukkan wajah lain: berkah bagi sektor pertanian, khususnya budidaya padi. Hujan yang terus turun secara merata di banyak wilayah Indonesia, meski menyimpan potensi risiko, ternyata memberikan peluang besar bagi para petani untuk meningkatkan produktivitas.
Air merupakan unsur utama dalam sistem budidaya padi. Dari awal proses seperti olah tanah dan penyemaian hingga masa pembentukan bulir dan pematangan, kebutuhan air sangat krusial. Di daerah-daerah dengan akses irigasi terbatas, musim hujan menjadi penyelamat. Ketersediaan air yang melimpah membuat lahan tetap subur dan memungkinkan pertanaman padi dilakukan dalam beberapa siklus dalam setahun.
Para petani memanfaatkan situasi ini dengan memajukan jadwal tanam serta memperpendek jeda antar musim tanam. Dalam kondisi normal, hanya dua musim tanam yang bisa dijalankan. Namun, hujan yang berkepanjangan membuka peluang tanam ketiga dalam setahun. Ini menjadi momentum langka yang sangat mereka maksimalkan, terutama bagi daerah-daerah yang sebelumnya kesulitan air saat musim kemarau tiba.
Peningkatan ini tercermin dalam data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Produksi padi nasional tercatat mencapai sekitar 55,6 juta ton gabah kering giling (GKG), naik dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan tersebut tak lepas dari dukungan curah hujan yang merata dan berlangsung lama, yang turut menstabilkan pasokan beras nasional. Dengan membaiknya pasokan domestik, kebutuhan impor dapat ditekan, sehingga ketahanan pangan nasional ikut diperkuat. Bagi petani, peningkatan hasil panen ini secara langsung berdampak pada naiknya pendapatan rumah tangga mereka.
Bukan hanya pemilik lahan yang merasakan dampaknya. Buruh tani juga turut menikmati berkah musim penghujan. Bertambahnya musim tanam berarti bertambah pula kebutuhan tenaga kerja. Hari kerja yang meningkat membuka peluang lebih besar untuk memperoleh penghasilan. Dalam kondisi ini, kesejahteraan buruh tani pun sedikit banyak ikut terdongkrak, terutama dari peningkatan upah harian dan daya beli mereka.
Namun demikian, curah hujan tinggi bukan tanpa risiko. Genangan air yang terlalu lama, banjir, serta buruknya sistem drainase dapat berbalik menjadi ancaman serius. Gagal panen bisa terjadi jika air tidak dikelola dengan baik. Karena itu, dukungan dari pemerintah sangat diperlukan, mulai dari penguatan infrastruktur irigasi dan drainase, penyediaan data iklim yang akurat, hingga pemberian akses terhadap asuransi pertanian agar petani bisa terlindungi dari potensi kerugian akibat cuaca ekstrem.
Fenomena hujan yang panjang ini juga membawa dampak nyata di kawasan Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, daerah yang dikenal sebagai lumbung padi nasional. Kabupaten seperti Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon memiliki produktivitas tinggi berkat kombinasi antara curah hujan, tanah aluvial subur, dan dukungan sistem irigasi dari Waduk Jatiluhur serta Bendungan Rentang.
Petani di kawasan ini biasa menerapkan pola tanam intensif. Musim tanam pertama (MT1) biasanya berlangsung dari Oktober hingga Januari, musim tanam kedua (MT2) pada Februari hingga Mei, dan musim tanam ketiga (MT3) bisa dilakukan antara Juni hingga Agustus, memanfaatkan sisa air hujan atau irigasi tambahan. Hasilnya, produksi padi di wilayah ini bisa mencapai 5,5 hingga 7 ton gabah kering panen (GKP) per hektare per musim. Angka tersebut bisa lebih tinggi jika varietas unggul dan praktik budidaya modern diterapkan.
Dari sisi ekonomi, biaya usaha tani di wilayah ini berkisar antara Rp 8 juta hingga Rp 12 juta per hektare per musim. Namun, penerimaan dari hasil panen bisa menembus angka Rp 20 juta hingga Rp 30 juta, tergantung harga gabah dan produktivitas. Margin keuntungan bersih petani bisa mencapai Rp 8 juta hingga Rp 15 juta per hektare dalam satu musim. Keuntungan tersebut lebih besar dirasakan oleh petani pemilik lahan dibandingkan dengan penggarap atau buruh tani, yang bagi hasil atau hanya menerima upah.
Meski menjanjikan, tantangan tetap ada. Petani masih menghadapi ketergantungan pada pupuk subsidi, ancaman hama seperti wereng atau penyakit blast, serta perubahan pola cuaca. Hal ini memunculkan kebutuhan akan strategi pertanian yang lebih adaptif. Upaya modernisasi seperti penggunaan drone untuk pemupukan, digitalisasi data lahan, dan penerapan teknologi pertanian presisi mulai diperkenalkan secara terbatas.
Untuk memastikan bahwa berkah musim hujan ini benar-benar berkelanjutan, diperlukan pendekatan menyeluruh dari hulu ke hilir. Di hulu, penting menyediakan benih unggul, pupuk berkualitas, dan pelatihan pertanian modern. Infrastruktur seperti jalan usaha tani dan jaringan irigasi juga harus diperbaiki. Di sektor pembiayaan, akses pada kredit usaha tani serta perlindungan melalui asuransi gagal panen wajib diperluas.
Sementara itu, di hilir, koperasi tani dan kelompok usaha harus diperkuat agar petani memiliki posisi tawar dalam pemasaran hasil panen. Pemerintah juga perlu menjaga stabilitas harga gabah, khususnya saat panen raya, melalui kebijakan penyerapan yang efektif. Diversifikasi usaha tani dan peningkatan literasi digital juga menjadi kunci untuk memastikan petani tidak hanya produktif, tetapi juga cerdas secara ekonomi.
Pada akhirnya, musim hujan yang berkepanjangan bukan semata-mata ujian, tetapi juga peluang besar. Bila dimanfaatkan dengan tepat, ini dapat menjadi titik tolak bagi kemajuan pertanian padi di Indonesia sebagai pilar ketahanan pangan dan sumber kesejahteraan petani yang berkelanjutan.