JAKARTA - Generasi Z tumbuh dalam ekosistem digital yang sangat dinamis. Ketersediaan informasi yang begitu luas serta eksposur tinggi terhadap gaya hidup dan tren menjadikan Gen Z menghadapi tantangan unik dalam mengelola keuangan. Tak hanya itu, mereka juga dihadapkan pada realita ekonomi yang makin kompleks serta tekanan sosial yang kuat.
Dalam situasi seperti ini, pendekatan personal dalam pengelolaan keuangan menjadi penting. Memahami kepribadian masing-masing individu dapat membantu Gen Z mengambil keputusan finansial yang lebih tepat dan realistis. Pendekatan ini juga menjadi kunci untuk membangun kebiasaan keuangan yang sehat sejak usia muda.
Empat Tipe Kepribadian Finansial Gen Z
Seorang Associate Professor dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) memaparkan bahwa ada empat tipe kepribadian finansial yang bisa ditemukan pada Gen Z. Setiap tipe mencerminkan cara berpikir dan bertindak terhadap uang, baik dalam pengeluaran maupun investasi.
1. Budgeting Master
Tipe pertama adalah budgeting master, yakni individu yang teliti dan terkendali dalam mengatur keuangan. Mereka unggul dalam mencatat setiap pengeluaran dan menjaga arus kas tetap stabil. Dengan disiplin tinggi, mereka mampu mengelola pemasukan dan pengeluaran secara seimbang.
“Terdapat empat tipe kepribadian finansial Gen-Z. Pertama, budgeting master, atau teliti dan terkendali. Unggul dalam mencatat dan menjaga pengeluaran,” jelasnya.
2. Cash Splasher
Tipe kedua, cash splasher, cenderung bersifat spontan dan impulsif. Mereka lebih mementingkan pengalaman sesaat dibanding perencanaan keuangan jangka panjang. Tipe ini umum ditemukan pada anak muda yang sangat terpapar tren media sosial dan mudah tergoda melakukan pembelian tanpa pertimbangan matang.
“Ini bisa terjadi pada banyak anak muda Gen Z yang kerap terekspos dunia tren namun sulit mengendalikan pengeluaran,” ungkapnya.
3. Trendy Spender
Selanjutnya adalah trendy spender. Mereka yang masuk dalam kategori ini biasanya sangat tertarik pada gaya hidup dan tren yang sedang berkembang. Sayangnya, demi menjaga penampilan atau gaya hidup tertentu, mereka kerap mengorbankan stabilitas keuangan.
“Sebagian anak muda cenderung mengorbankan stabilitas finansial demi penampilan,” tambahnya.
4. Independent Investor
Tipe terakhir adalah independent investor, yaitu individu yang memiliki pemikiran jangka panjang dalam hal keuangan. Mereka cenderung cermat dalam memilih produk investasi dan lebih fokus pada kualitas serta potensi pertumbuhan nilai aset di masa depan.
Pentingnya Refleksi Diri dan Rumus Praktis
Mengenali kepribadian finansial pribadi bukan sekadar soal klasifikasi, melainkan menjadi pintu awal menuju pengelolaan keuangan yang sehat. Dengan memahami kecenderungan masing-masing, Gen Z dapat menyusun strategi keuangan yang sesuai kebutuhan dan kemampuan mereka.
“Melalui pendekatan berbasis kepribadian, mahasiswa dapat memahami pola konsumsi mereka sendiri dan mulai mengelola keuangan dengan cara yang lebih realistis dan personal,” terangnya.
Ia menyarankan agar Gen Z memanfaatkan rumus sederhana seperti 50:30:20, yaitu membagi pengeluaran menjadi 50% untuk kebutuhan, 30% untuk keinginan, dan 20% untuk tabungan atau investasi. Rumus ini membantu menyeimbangkan aspek konsumtif dan produktif dalam keuangan harian.
Selain itu, pertanyaan reflektif seperti “Apakah saya perlu atau hanya ingin?” dinilai mampu membantu Gen Z membentuk kesadaran terhadap pola belanja mereka. Refleksi seperti ini bukan hanya berguna untuk menghindari pemborosan, tapi juga untuk menumbuhkan kebiasaan yang berkelanjutan.
“Pertanyaan-pertanyaan reflektif yang ditujukan kepada diri sendiri begitu bisa membuat Gen Z untuk berubah, untuk tidak sekadar menghindari boros, tetapi juga membentuk kebiasaan keuangan yang sehat dan berkelanjutan,” tuturnya.
Literasi dan Inklusi Keuangan Masih Berjarak
Meski banyak anak muda sudah aktif menggunakan layanan keuangan digital, masih ada jarak antara pemahaman dan praktik keuangan. Data mencatat bahwa tingkat literasi keuangan Gen Z Indonesia berada di kisaran 65,43 persen, sementara inklusi keuangan sudah mencapai 75,02 persen.
“Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara penggunaan produk keuangan dan pemahaman terhadapnya. Pendekatan seperti ini hadir untuk menjembatani gap tersebut secara kreatif dan menyenangkan,” ucapnya.
Ketidakseimbangan ini menjadi pengingat bahwa peningkatan akses saja tidak cukup. Harus ada edukasi yang sesuai karakter dan perilaku generasi muda agar penggunaan produk keuangan tidak hanya bersifat konsumtif, tapi juga produktif dan bertanggung jawab.
Upaya Edukasi Lewat Pendekatan Kepribadian
Pembahasan soal kepribadian finansial Gen Z ini disampaikan dalam diskusi yang melibatkan para akademisi dari FEB UI bersama komunitas mahasiswa Indonesia di luar negeri. Acara tersebut bertujuan meningkatkan literasi keuangan melalui pendekatan yang lebih personal dan mudah dipahami, terutama bagi kalangan muda.
Melalui pendekatan yang tidak kaku dan berbasis karakter, Gen Z diharapkan mampu memahami risiko serta potensi finansial pribadi mereka. Dengan begitu, generasi ini dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cakap secara digital, tetapi juga bijak dalam urusan keuangan.