AAUI

AAUI Dukung Co Payment Lebih Adil untuk Masyarakat Rentan

AAUI Dukung Co Payment Lebih Adil untuk Masyarakat Rentan
AAUI Dukung Co Payment Lebih Adil untuk Masyarakat Rentan

JAKARTA - Dalam dunia asuransi kesehatan, kebijakan co-payment selalu menjadi isu yang mendapat perhatian luas, terutama karena dampaknya yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Baru-baru ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Komisi XI DPR RI mengambil keputusan penting dengan menunda penerapan skema co-payment yang awalnya direncanakan mulai berlaku pada awal tahun depan. Penundaan ini membuka ruang bagi revisi regulasi agar lebih sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia, khususnya kelompok rentan yang membutuhkan perlakuan khusus.

Keputusan ini diambil dalam rapat kerja bersama yang digelar untuk membahas keberlanjutan dan implementasi skema co-payment sebagaimana diatur dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) 7/2025. Pada intinya, co-payment adalah sistem di mana peserta asuransi kesehatan harus ikut menanggung sebagian biaya pengobatan atau pelayanan kesehatan yang mereka terima. Mekanisme ini bertujuan untuk mengendalikan risiko moral hazard, meningkatkan literasi finansial peserta, dan menyeimbangkan beban biaya asuransi sehingga sistem dapat berjalan berkelanjutan.

Namun, pelaksanaannya tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa memperhatikan kondisi berbagai kelompok masyarakat. Dalam rapat tersebut, muncul suara-suara penting dari berbagai pihak, terutama usulan agar masyarakat rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, dan peserta dengan pendapatan rendah mendapatkan pengecualian dari kewajiban co-payment ini. Hal ini dianggap sangat krusial agar tidak menimbulkan beban berlebih pada mereka yang kemampuan finansialnya terbatas.

Budi Herawan, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), menyatakan bahwa co-payment sebenarnya tetap menjadi instrumen yang relevan dalam mengendalikan risiko asuransi sekaligus sebagai sarana edukasi keuangan bagi masyarakat. Namun, menurutnya, pelaksanaan co-payment perlu diterapkan dengan penuh fleksibilitas dan memperhatikan aspek sosial yang ada. “AAUI setuju apabila diberikan pengecualian khusus bagi kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, atau peserta berpenghasilan rendah, selama ada kriteria yang jelas dan pengaturannya tidak mengganggu keseimbangan aktuaria,” ungkap Budi.

Pandangan tersebut menjadi landasan penting dalam penyusunan Peraturan OJK (POJK) baru yang nantinya akan menggantikan SEOJK 7/2025. POJK ini diharapkan akan menjadi aturan yang lebih kuat, mengikat, dan komprehensif, sehingga mampu mengakomodasi aspirasi seluruh pemangku kepentingan—mulai dari pemerintah, industri asuransi, hingga masyarakat luas. Dengan demikian, kebijakan co-payment yang akan diterapkan benar-benar mampu memberikan manfaat tanpa menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan.

Selain isu terkait pengecualian co-payment untuk kelompok rentan, pembahasan dalam rapat juga menyoroti peran agen asuransi dalam sistem distribusi produk asuransi kesehatan. Anggota Komisi XI DPR RI mengusulkan agar dibuat kebijakan batas maksimal persentase komisi yang diterima agen asuransi. Usulan ini bertujuan untuk merampingkan biaya akuisisi yang selama ini menjadi salah satu beban besar perusahaan asuransi, apalagi di tengah lonjakan klaim yang makin signifikan.

Menanggapi hal tersebut, Budi Herawan mengingatkan bahwa komisi agen bukan sekadar biaya, melainkan bagian penting dari insentif yang memotivasi agen dalam memberikan edukasi, pelayanan, serta menjaga keberlanjutan jalur distribusi asuransi. Oleh karena itu, jika ada penyesuaian komisi, sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan terstruktur, misalnya melalui restrukturisasi skema komisi berdasarkan kinerja klaim atau durasi polis, bukan pemotongan secara sepihak. “Efisiensi biaya memang penting, tetapi perlu pendekatan yang seimbang agar layanan kepada peserta tetap optimal,” jelas Budi.

Hingga kini, OJK masih belum menetapkan kapan POJK baru akan diterbitkan. Regulator pun masih menimbang berbagai masukan untuk menghasilkan regulasi yang tidak hanya tegas secara hukum, tetapi juga adil dan bisa diterima oleh semua pihak. Keputusan terkait kapan skema co-payment mulai diberlakukan juga masih terbuka untuk disesuaikan, tergantung kesiapan sistem dan pemahaman publik terhadap kebijakan ini.

Budi menilai urgensi pengaturan asuransi kesehatan tetap tinggi mengingat kenaikan biaya kesehatan dan jumlah klaim yang meningkat tajam selama beberapa waktu terakhir. Regulasi baru ini diharapkan mampu menjaga keberlanjutan industri asuransi kesehatan di Indonesia sekaligus melindungi hak peserta secara optimal. “Namun keberhasilan implementasi regulasi ini tidak hanya ditentukan oleh waktu penerapan, tetapi juga oleh sejauh mana seluruh pihak memahami, menyepakati, dan mempersiapkan secara teknis kebijakan tersebut,” tambahnya.

Penundaan pelaksanaan co-payment ini pun dinilai sebagai langkah konstruktif yang memberikan kesempatan bagi regulator dan industri untuk menyiapkan segala sesuatunya dengan lebih matang. AAUI sendiri berharap agar POJK baru bisa diselesaikan tepat waktu sehingga implementasi skema co-payment tetap dapat dilakukan pada 1 Januari 2026, tetapi dengan ketentuan yang lebih proporsional dan realistis.

Jika memang diperlukan waktu lebih untuk memastikan kesiapan sistem dan pemahaman masyarakat luas, maka penyesuaian jadwal implementasi bisa saja dipertimbangkan dengan tetap menjaga konsistensi arah kebijakan dan keberlanjutan proteksi peserta asuransi kesehatan.

Secara keseluruhan, dinamika revisi kebijakan co-payment ini mencerminkan keseriusan pemerintah dan industri asuransi dalam menghadirkan sistem asuransi kesehatan yang tidak hanya efisien dan berkelanjutan, tetapi juga adil dan sensitif terhadap kebutuhan masyarakat, terutama kelompok yang rentan. Dengan pendekatan yang inklusif dan partisipatif, diharapkan perlindungan kesehatan di Indonesia bisa semakin merata dan memberikan manfaat optimal bagi seluruh lapisan masyarakat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index