BATU BARA

Pengusaha Batu Bara Didorong Berkontribusi Lebih Lewat Ekspor

Pengusaha Batu Bara Didorong Berkontribusi Lebih Lewat Ekspor
Pengusaha Batu Bara Didorong Berkontribusi Lebih Lewat Ekspor

JAKARTA - Langkah pemerintah memperluas sumber penerimaan negara kini masuk babak baru. Salah satu instrumen yang dipertimbangkan untuk mendongkrak penerimaan adalah melalui penambahan bea keluar atas ekspor komoditas, termasuk di dalamnya produk batu bara dan emas. Rencana ini menjadi sorotan tajam, terutama karena sektor batu bara sebelumnya telah menikmati kebijakan bebas bea ekspor selama hampir dua dekade.

Kesepakatan untuk memperluas basis bea keluar ini dibahas dalam rapat kerja antara Komisi XI DPR RI dengan sejumlah pemangku kepentingan utama, seperti Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner OJK. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah dan DPR sepakat bahwa waktu untuk meningkatkan kontribusi sektor sumber daya alam terhadap penerimaan negara sudah tiba.

Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyampaikan bahwa rencana penerapan bea keluar ini akan mengacu pada regulasi teknis dari kementerian terkait.

"Perluasan basis penerimaan bea keluar, di antaranya terhadap produk emas dan batu bara di mana pengaturan teknisnya mengacu pada peraturan Kementerian ESDM," ujarnya dalam rapat kerja tersebut.

Hingga kini, aturan yang berlaku baru mencakup produk emas mentah atau dore bullion, yang dikenai bea keluar sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 38 Tahun 2024. Adapun emas dalam bentuk batangan dan perhiasan belum termasuk objek pungutan, sehingga masih bebas dari bea ekspor.

Di sisi lain, batu bara sejak 2006 tidak lagi dikenai bea keluar. Sebagai gantinya, sektor ini berkontribusi melalui skema royalti, yang masuk ke dalam kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan perubahan kebijakan ini, maka pelaku usaha di sektor batu bara perlu bersiap menghadapi penambahan beban fiskal dari sisi ekspor.

Wakil Ketua Komisi XI DPR, Fauzi H Amro, turut memperjelas proses penetapan besaran tarif bea ekspor batu bara ke depan. Ia menyebut bahwa tarif akan diusulkan secara teknis oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), lalu ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dalam bentuk regulasi PMK.

"Harapan kita (bea keluar) sebagai penerimaan negara yang baru itu akan naik. Jadi kita memang ingin mempertegas bahwa tarifnya ditentukan oleh Kementerian ESDM. Lewat ESDM nanti ke PMK," jelasnya.

Jika kebijakan ini resmi diberlakukan, maka akan menjadi momen penting bagi industri batu bara nasional. Dalam dua dekade terakhir, para eksportir batu bara menikmati periode tanpa bea ekspor. Namun kondisi global yang terus berubah, serta kebutuhan dalam negeri yang meningkat terhadap pendanaan pembangunan, mendorong negara untuk mengoptimalkan potensi dari sektor sumber daya alam.

Secara ekonomis, penerapan bea keluar ini dapat dipandang sebagai upaya untuk menyesuaikan nilai tambah dari komoditas ekspor strategis terhadap kontribusinya bagi APBN. Terlebih di tengah tren kenaikan harga dan permintaan batu bara di pasar internasional, pemerintah ingin memastikan bahwa keuntungan besar dari ekspor komoditas tidak hanya dinikmati pelaku usaha, tetapi juga ikut memperkuat kas negara.

Meskipun belum dipastikan kapan regulasi ini akan diberlakukan, sinyal politik dan arah kebijakan fiskal pemerintah sudah cukup jelas. Pelaku industri pun harus mulai menyiapkan langkah strategis menghadapi skema baru tersebut, baik dari sisi perencanaan ekspor maupun kalkulasi biaya produksi.

Bagi pelaku ekspor batu bara, perubahan ini bukan sekadar penyesuaian regulasi fiskal. Ini bisa berdampak langsung terhadap struktur harga jual di pasar luar negeri, daya saing, serta margin keuntungan. Oleh sebab itu, antisipasi melalui efisiensi operasional atau diversifikasi pasar menjadi langkah penting.

Di sisi lain, penerapan bea keluar ini juga dapat mendorong penguatan hilirisasi di dalam negeri. Jika ekspor batu bara mentah dikenai pungutan tambahan, maka pelaku usaha mungkin terdorong untuk meningkatkan proses pengolahan sebelum ekspor atau bahkan menyalurkan produk ke industri domestik. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan energi nasional yang tengah berupaya mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.

Kebijakan ini juga dapat dilihat sebagai bagian dari strategi fiskal jangka menengah untuk menciptakan sumber penerimaan negara yang lebih stabil dan tidak bergantung pada pajak konsumsi semata. Melalui pemanfaatan sumber daya alam secara optimal dan adil, negara berusaha mengalihkan sebagian manfaat ekonomi ke ruang fiskal yang lebih luas.

Meskipun sejumlah pihak menyambut baik langkah ini, proses implementasinya tetap perlu memperhatikan keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dan keberlanjutan sektor usaha. Pemerintah diharapkan mampu menyusun skema tarif yang adil, tidak memberatkan industri secara berlebihan, serta tetap menjaga daya saing komoditas di pasar global.

Langkah untuk menyusun PMK baru sebagai dasar hukum penerapan bea keluar pun perlu diiringi dengan konsultasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Hal ini penting agar implementasi kebijakan berjalan lancar dan tidak menimbulkan ketidakpastian di pasar.

Dengan kebijakan baru ini, sektor batu bara tidak hanya diharapkan memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional melalui produksi dan ekspor, tetapi juga berperan dalam menyeimbangkan struktur pendapatan negara yang lebih adil dan berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index