JAKARTA - Harga minyak mentah global kembali mencatatkan pelemahan pada perdagangan Selasa, 8 Juli 2025. Penurunan ini terjadi di tengah kombinasi dua faktor utama yang menjadi perhatian pelaku pasar, yakni kebijakan tarif impor dari Amerika Serikat serta rencana kenaikan produksi minyak oleh aliansi produsen utama, OPEC+.
Pergerakan harga minyak tersebut menjadi lanjutan dari dinamika yang cukup fluktuatif dalam beberapa hari terakhir. Sebelumnya, harga minyak sempat mengalami kenaikan hampir 2% pada Senin, namun sentimen pasar berubah cepat seiring berkembangnya kabar terkait langkah pemerintah AS serta keputusan OPEC+ mengenai penambahan pasokan pada bulan depan.
Mengutip data perdagangan pada pukul 10.30 WIB, harga minyak mentah jenis Brent terkoreksi sebesar 22 sen atau 0,3%, sehingga diperdagangkan pada level US$69,36 per barel. Sementara itu, harga West Texas Intermediate (WTI) juga mengalami penurunan, turun 27 sen atau setara dengan 0,4% menjadi US$67,66 per barel.
Koreksi harga tersebut terjadi tak lama setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengeluarkan pernyataan tegas mengenai rencana peningkatan tarif impor. Trump dilaporkan telah mengirimkan surat kepada sejumlah negara mitra dagang penting, termasuk Korea Selatan dan Jepang, serta beberapa eksportir skala kecil seperti Serbia, Thailand, dan Tunisia.
Dalam suratnya, Trump menyebutkan bahwa tarif impor terhadap produk dari negara-negara tersebut akan dinaikkan secara tajam mulai tanggal 1 Agustus 2025. Meski demikian, ia juga menyampaikan bahwa tenggat waktu itu masih terbuka untuk dinegosiasikan lebih lanjut.
Langkah ini langsung memunculkan ketidakpastian baru di pasar global. Para pelaku usaha dan investor menilai bahwa kebijakan tarif tersebut berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi global, yang pada akhirnya dapat menurunkan permintaan terhadap komoditas energi, termasuk minyak mentah.
Meski kekhawatiran meningkat, sebagian analis tetap melihat adanya sisi positif pada permintaan jangka pendek, khususnya dari Amerika Serikat, yang masih menjadi konsumen minyak terbesar di dunia.
Data yang dirilis oleh American Automobile Association (AAA) menunjukkan adanya lonjakan aktivitas perjalanan domestik di AS selama libur peringatan kemerdekaan. Sekitar 72,2 juta orang diperkirakan melakukan perjalanan dengan jarak tempuh lebih dari 80 kilometer, mencatatkan rekor baru untuk periode tersebut.
Situasi ini turut memberikan dorongan positif pada sentimen pasar dalam jangka pendek. Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas AS (CFTC) juga mencatat bahwa para manajer investasi terus meningkatkan posisi beli bersih (net-long) mereka pada kontrak minyak, mencerminkan optimisme terhadap permintaan yang masih kuat.
“Permintaan jangka pendek masih kuat karena faktor musiman. Namun pertanyaannya, apakah permintaan ke depan cukup kuat untuk menyerap pasokan tambahan dari OPEC+ yang lebih besar dari perkiraan,” ujar Emril Jamil, analis senior di LSEG Oil Research.
Di luar AS, sinyal positif terhadap permintaan minyak juga datang dari India, yang kini menempati posisi ketiga sebagai konsumen minyak terbesar dunia. Berdasarkan data pemerintah setempat, konsumsi bahan bakar pada bulan Juni 2025 mengalami kenaikan sebesar 1,9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Sementara dari sisi pasokan global, OPEC+ pada Sabtu sebelumnya telah menyepakati keputusan penting terkait produksi. Aliansi produsen tersebut akan menambah produksi minyak sebesar 548.000 barel per hari (bph) pada Agustus. Jumlah ini lebih besar dibandingkan kenaikan bertahap sebesar 411.000 bph dalam tiga bulan sebelumnya.
Dengan penambahan ini, hampir seluruh pengurangan sukarela sebesar 2,2 juta bph yang sebelumnya diberlakukan, kini praktis telah dihapuskan.
Lebih lanjut, lima sumber menyebutkan bahwa OPEC+ kemungkinan akan kembali menyetujui peningkatan produksi tambahan sekitar 550.000 bph untuk bulan September. Keputusan finalnya akan dibahas dalam pertemuan resmi yang dijadwalkan pada 3 Agustus 2025. Jika rencana ini berjalan sesuai harapan, maka kebijakan pemangkasan produksi akan benar-benar berakhir.
Meski begitu, beberapa analis mencatat bahwa kenaikan produksi yang terjadi secara aktual di lapangan selama ini seringkali lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang diumumkan secara resmi. Hal ini sebagian besar disebabkan karena sebagian besar tambahan pasokan hanya berasal dari satu negara utama, yakni Arab Saudi.
Secara keseluruhan, pasar minyak global kini dihadapkan pada dua kekuatan yang saling bertolak belakang: satu sisi menunjukkan permintaan yang masih kuat di musim panas ini, terutama di negara-negara konsumen besar, namun di sisi lain terdapat tekanan dari potensi surplus pasokan dan ketidakpastian akibat kebijakan perdagangan Amerika Serikat.
Situasi ini membuat harga minyak berfluktuasi dalam rentang yang ketat, di mana pelaku pasar terus memantau dinamika geopolitik serta arah kebijakan OPEC+ dalam beberapa bulan ke depan.
Dengan sentimen yang masih bercampur, para investor dan analis memperkirakan bahwa pergerakan harga minyak dalam waktu dekat akan sangat bergantung pada realisasi peningkatan permintaan dan kejelasan kebijakan tarif AS menjelang Agustus.