JAKARTA - Fenomena viral Pacu Jalur, olahraga tradisional asal Riau, menjadi momentum emas yang membuka jalan bagi penguatan diplomasi budaya Indonesia. Tradisi balap perahu di Sungai Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, yang selama ini hidup dalam konteks lokal, kini mendapat perhatian luas di tingkat internasional.
Semuanya bermula dari tersebarnya video anak kecil yang menari di ujung perahu. Aksi tersebut bukan hanya menghibur, tapi juga menyulut kekaguman dari berbagai kalangan. Atlet dunia seperti Neymar, Travis Kelce, hingga pembalap F1 Fernando Alonso ikut mengadaptasi gaya selebrasi ala Pacu Jalur. Bahkan klub sepak bola ternama seperti Paris Saint-Germain mengunggah selebrasi Bradley Barcola yang terinspirasi dari tradisi ini.
Viralitas ini menjadi sinyal kuat bahwa warisan budaya lokal, jika dikemas dan dipromosikan dengan tepat, dapat menembus batas negara dan menjadi kekuatan lunak dalam mengenalkan identitas nasional.
Tradisi Lebih dari Sekadar Lomba Dayung
Pacu Jalur bukan sekadar perlombaan mendayung perahu. Ia adalah manifestasi budaya yang memadukan unsur olahraga, tradisi, spiritualitas, serta seni pertunjukan. Akar sejarahnya panjang, dimulai dari kebiasaan masyarakat Melayu di pesisir Sungai Kuantan yang menjadikan perahu sebagai moda transportasi dan sarana angkut hasil bumi.
Tradisi ini sudah hidup sejak abad ke-17, dan sejak saat itu berkembang menjadi festival budaya yang rutin digelar setiap bulan Agustus. Momentum ini bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, namun akarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda ketika lomba ini digelar untuk memperingati ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Pada tahun 2014, Pacu Jalur ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penetapan ini memperkuat legitimasi budaya Pacu Jalur sebagai kekayaan nasional yang layak dijaga dan dikembangkan.
Keunikan Pacu Jalur dari Hutan hingga Sungai
Proses pembuatan perahu pacu, yang disebut "jalur", diawali dari penebangan kayu secara adat. Ritual spiritual pun mengiringi setiap tahapan: mulai dari memilih kayu, membentuk badan perahu, hingga serangkaian doa yang dipimpin oleh tokoh adat. Nilai-nilai gotong royong sangat kental dalam proses ini.
Satu perahu Pacu Jalur bisa mencapai panjang puluhan meter dan memuat hingga 50–60 pendayung. Di atasnya terdapat tokoh-tokoh penting: tukang pinggang yang menjadi juru mudi, tukang concang sebagai pemberi aba-aba irama, serta anak coki, penari cilik di bagian depan yang menjadi ikon atraksi.
Salah satu anak coki yang mencuri perhatian dunia adalah Rayyan Arkan Dikha, bocah berusia 11 tahun dari Kuantan Singingi. Aksinya yang enerjik dan penuh semangat menjadi titik awal meledaknya perhatian terhadap Pacu Jalur di dunia maya. Dari sinilah mata dunia mulai mengenal kekayaan budaya Riau.
Momentum untuk Mendorong Ekonomi dan Pariwisata
Jika momentum ini dimanfaatkan dengan baik, Pacu Jalur berpotensi menjadi kekuatan ekonomi baru bagi masyarakat Kuantan Singingi dan Riau secara umum. China telah lebih dahulu sukses menjadikan Dragon Boat Festival sebagai kalender wisata nasional, lengkap dengan hari libur resmi dan promosi internasional.
Indonesia dapat mengikuti jejak serupa. Pacu Jalur bisa menjadi magnet wisata budaya, mengundang wisatawan domestik maupun mancanegara untuk datang dan menyaksikan langsung. Tidak hanya menyuguhkan perlombaan, festival ini juga bisa menghadirkan pameran budaya, pertunjukan seni, serta bazar UMKM lokal.
Namun untuk mewujudkannya, sejumlah langkah penting harus segera diambil. Infrastruktur menuju lokasi lomba harus dibenahi. Akses jalan, sarana transportasi, hingga penginapan harus ditingkatkan. Kebersihan dan keamanan di sekitar area festival pun harus menjadi perhatian utama.
Selain itu, perlu juga pengembangan fasilitas untuk penonton dan peserta lomba, seperti tribun, area istirahat, dan fasilitas sanitasi. Semua ini menjadi indikator penting bagi wisatawan dalam menilai kenyamanan sebuah destinasi.
Kolaborasi Adalah Kunci Keberlanjutan
Agar Pacu Jalur tak berhenti sebagai tren sesaat, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat adat, pelaku industri kreatif, serta sektor swasta menjadi keharusan. Promosi tidak cukup dilakukan melalui media sosial semata, tetapi juga melalui pendekatan diplomatik dan kerja sama lintas sektor.
Festival budaya ini tidak boleh hanya menjadi panggung politik lokal atau ajang proyek seremonial. Ia harus dijadikan investasi jangka panjang yang dikelola secara profesional dan berkelanjutan. Dengan perencanaan yang matang, Pacu Jalur bisa menjadi bagian dari agenda olahraga air internasional seperti rowing atau dragon boat.
Dari Tradisi ke Panggung Dunia
Pacu Jalur adalah contoh nyata bagaimana budaya lokal yang dikelola dengan baik mampu mengangkat nama daerah, bahkan negara, ke kancah global. Viralitasnya menjadi jembatan untuk memperkenalkan Indonesia sebagai bangsa yang kaya budaya, dinamis, dan penuh kreativitas.
Kini, tantangannya bukan lagi soal bagaimana membuat dunia tahu, tapi bagaimana memastikan tradisi ini tetap hidup, terjaga, dan menjadi sumber manfaat yang luas bagi semua. Jika semua pihak berkomitmen, bukan tidak mungkin Pacu Jalur akan menjadi ikon budaya air Asia Tenggara yang sejajar dengan festival-festival kelas dunia lainnya.