JAKARTA - Indonesia, yang dikenal dengan kekayaan sumber daya alamnya, ironisnya menjadi salah satu negara pengimpor minyak dan gas terbesar di dunia. Data terbaru menyoroti ketergantungan kritis ini: dari total kebutuhan minyak harian sebesar 1,6 juta barel, hanya 600 ribu barel yang dapat diproduksi secara domestik. Sisanya, sebanyak 1 juta barel, harus diimpor. Situasi serupa juga terjadi dalam sektor gas, di mana dari kebutuhan 8 juta ton elpiji per tahun, produksi dalam negeri hanya mampu menyediakan 1,6 juta ton.
Ketergantungan yang tinggi ini membawa risiko besar bagi Indonesia. Jika suplai impor terhenti akibat krisis global atau gejolak politik internasional lainnya, Indonesia terancam menghadapi krisis energi. Saat ini, cadangan minyak nasional hanya cukup untuk 21 hari. Artinya, jika impor minyak terhenti, dalam waktu kurang dari satu bulan, Indonesia bisa mengalami gangguan serius.
"Penting bagi kita untuk segera mengatasi ketergantungan ini. Ini adalah tantangan krusial yang harus dihadapi dengan strategi yang matang," ujar seorang ahli energi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri yang tidak stabil juga menjadi perhatian utama. Ketergantungan impor membuat harga BBM, terutama yang non-subsidi, sangat fluktuatif. Ketika harga minyak dunia naik, harga BBM dalam negeri pun turut terkerek. Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara yang sudah mencapai swasembada minyak, di mana mereka mampu menetapkan harga BBM secara mandiri tanpa terlalu bergantung pada pasar global.
Menyikapi situasi ini, Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan visi ambisius untuk mencapai kemandirian energi dalam tiga tahun ke depan. Tujuannya jelas: Indonesia harus bisa memenuhi kebutuhan energi tanpa bergantung pada impor.
Sejumlah langkah strategis diusulkan untuk mencapai tujuan ini. Pertama, meningkatkan produksi minyak dan gas dengan memaksimalkan potensi yang ada. Saat ini, terdapat 301 wilayah kerja migas yang sudah melakukan eksplorasi. Sebagai pembanding, pada tahun 1977, Indonesia berhasil mencapai lifting minyak sebesar 1,6 juta barel per hari. Target pemerintah saat ini adalah mencapai 1 juta barel per hari pada 2030.
"Produksi minyak kita memang masih bisa ditingkatkan. Kuncinya adalah investasi dan teknologi," kata seorang pejabat senior di Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Kedua, memanfaatkan potensi bioenergi secara maksimal. Sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan bioenergi. Kampanye negatif dari Uni Eropa terhadap minyak sawit seharusnya tidak menyurutkan niat kita untuk mengembangkan bioenergi sebagai sumber energi alternatif.
"Daripada berfokus pada kampanye negatif, lebih baik kita fokus pada pengembangan domestik bioenergi. Ini peluang besar bagi masa depan energi kita," tutur seorang pakar energi terbarukan.
Terakhir, strategi pengurangan konsumsi bahan bakar fosil dengan mendorong penggunaan kendaraan listrik. Tren kendaraan listrik yang semakin populer di kalangan masyarakat harus dioptimalkan. Pemerintah dapat melanjutkan berbagai insentif seperti relaksasi pajak untuk mendorong peningkatan penggunaan kendaraan listrik.
Menanggapi tren ini, seorang peneliti dari Institut Teknologi Bandung menekankan, "Dengan mempromosikan kendaraan listrik, kita tidak hanya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil tetapi juga berkontribusi pada pengurangan emisi karbon."
Dengan pendekatan yang terintegrasi, Indonesia dapat mewujudkan kemandirian energi yang telah lama diimpikan. Namun, mewujudkannya tidak bisa hanya sekadar rencana. Aksi nyata dan komitmen dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, menjadi kunci utama kesuksesan upaya ini.