BATU BARA

Regulasi Batu Bara Baru Jadi Peluang AADI

Regulasi Batu Bara Baru Jadi Peluang AADI
Regulasi Batu Bara Baru Jadi Peluang AADI

JAKARTA - PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), salah satu perusahaan batubara terkemuka di Indonesia, tengah menghadapi dinamika industri yang cukup menantang. Harga batubara global terus menunjukkan tren penurunan sepanjang semester pertama 2025. Namun di tengah tekanan tersebut, AADI justru mendapatkan peluang baru melalui kebijakan pemerintah terkait tarif royalti yang baru.

Pemerintah resmi memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2025 sebagai revisi dari PP Nomor 15 Tahun 2022. Aturan ini menetapkan penyesuaian tarif royalti untuk sektor mineral dan batubara. Dalam waktu bersamaan, pemerintah juga mengatur kewajiban penempatan devisa hasil ekspor (DHE) sebesar 100% di dalam negeri selama satu tahun. Bagi AADI, kebijakan ini membawa angin segar karena perusahaan berstatus sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Status IUPK memberikan keunggulan tersendiri, salah satunya dalam skema perhitungan royalti yang progresif mengikuti harga batubara acuan (HBA). Selain itu, perusahaan dengan status IUPK juga bisa mendapatkan insentif berupa pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) atas bunga DHE yang ditempatkan di dalam negeri. Hal ini menjadikan posisi AADI cukup strategis di tengah ketidakpastian pasar global.

Kinerja Tertekan, Peluang Tetap Terbuka

Meski laporan kinerja kuartal II-2025 dari AADI belum dirilis, sejumlah indikator menunjukkan adanya tekanan. Sepanjang enam bulan pertama tahun ini, harga batubara global turun 14,03% secara tahunan (year on year). Penurunan ini berdampak pada nilai ekspor AADI, yang tercatat turun 10,86% YoY pada kuartal I-2025 menjadi US$1,05 miliar.

Negara tujuan utama ekspor seperti Jepang, China, dan Korea menunjukkan penurunan permintaan yang cukup drastis. Tak hanya itu, permintaan domestik juga melemah sebesar 13,62% YoY, dari US$268,73 juta menjadi US$232,14 juta.

Namun di balik penurunan tersebut, peluang untuk efisiensi mulai terlihat. Analis dari Phintraco Sekuritas, Lisya Anxellin, menyebutkan bahwa AADI bisa menghemat beban operasional sekitar 10,38% secara tahunan, terutama dari sisi royalti dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).

“Dengan perubahan kebijakan tarif royalti berdasarkan PP No. 18 Tahun 2025, penurunan beban operasional AADI utamanya juga disebabkan oleh berkurangnya beban PNBP, baik dari pemerintah pusat maupun daerah,” kata Lisya.

Lisya juga memproyeksikan margin EBITDA AADI akan berada di kisaran 27,83%, dan net profit margin (NPM) sebesar 22,63% untuk tahun ini.

Prospek Saham Tetap Menarik

Meski tekanan dari sisi harga masih ada, para analis tetap optimistis terhadap prospek saham AADI. Nafan Aji Gusta, analis dari Mirae Asset Sekuritas, menyatakan bahwa status IUPK membuat AADI tetap berpeluang mencetak keuntungan, meskipun harga batubara sedang melemah.

“Ketika terjadi penurunan harga jual batubara, AADI tetap bisa mendapatkan keuntungan karena posisinya sebagai pemegang IUPK,” ujar Nafan. Ia merekomendasikan accumulative buy untuk saham AADI dengan target harga Rp1.995.

Sementara itu, Sukarno Alatas dari Kiwoom Sekuritas menyampaikan bahwa sistem royalti progresif memungkinkan AADI tetap menjaga margin. “Jika efisiensi dari royalti bisa menghemat 2–3% dari pendapatan, maka laba kotor AADI bisa lebih baik 1,8%–2,7% dibandingkan skenario tanpa perubahan kebijakan ini,” jelasnya.

Sukarno juga menyarankan investor untuk mempertimbangkan strategi trading buy dengan target harga Rp7.275 hingga Rp7.450, sambil tetap memperhatikan transparansi dan aspek likuiditas perusahaan.

Produksi dan Ekspor ke Asia Tenggara Jadi Andalan

Dari sisi produksi, AADI diperkirakan tetap stabil di paruh kedua 2025. Curah hujan yang berada di level menengah di wilayah operasional seperti Kalimantan dan Sumatra Selatan mendukung kelancaran kegiatan tambang. Stabilitas cuaca memungkinkan pengupasan lapisan tanah penutup (stripping ratio) dijaga pada tingkat optimal, sehingga efisiensi operasional tetap terjaga.

Sementara dari sisi pasar, AADI tengah menjajaki peningkatan ekspor ke negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, dan Thailand, guna menggantikan penurunan permintaan dari China dan India.

Selain itu, AADI juga mempercepat strategi hilirisasi, seperti proyek dimethyl ether (DME) untuk substitusi LPG, dan pengembangan batubara kalori rendah. Langkah ini tak hanya membuka pasar baru, tetapi juga menjadi bagian dari strategi jangka panjang perusahaan dalam diversifikasi produk.

Risiko dan Proyeksi ke Depan

Meskipun memiliki banyak potensi, AADI tetap menghadapi sejumlah risiko eksternal. Analis Phintraco Sekuritas mengingatkan tentang potensi penurunan harga batubara berkelanjutan, peningkatan produksi global, dan kebijakan bea keluar yang bisa berdampak pada kinerja ekspor.

Namun, valuasi saham AADI tetap dianggap menarik. Dengan pendekatan sum of the parts (SOTP), target harga yang disarankan adalah Rp10.200 per saham, dengan rekomendasi buy.

Hingga penutupan perdagangan Selasa, 5 Agustus 2025, saham AADI tercatat naik 2,95% ke level Rp6.975. Meski masih terkoreksi lebih dari 15% secara year to date (YtD), katalis dari perubahan kebijakan royalti dan proyeksi efisiensi operasional membuat investor masih melihat potensi pertumbuhan.

Dalam lanskap industri batubara yang penuh tantangan, AADI menunjukkan bahwa adaptasi terhadap kebijakan dapat menjadi kunci keberhasilan. Meskipun harga komoditas melemah, kebijakan baru pemerintah terkait royalti dan DHE menjadi peluang efisiensi serta pemantik sentimen positif bagi investor.

Dengan menjaga volume produksi, menjajaki pasar baru, serta memanfaatkan status IUPK secara optimal, AADI berpeluang menjawab tantangan 2025 dengan pertumbuhan yang tetap menjanjikan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index