JAKARTA - Perubahan iklim kini bukan lagi isu jauh, tetapi berdampak nyata pada kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Musim yang tak lagi patuh kalender menjadi bukti nyata. Hujan deras yang mengguyur di Juni, banjir di Juli, hingga cuaca yang enggan kering menjelang puncak kemarau Agustus 2025, menunjukkan cuaca sulit diprediksi dan tidak menentu. Pola ini bukan sekadar ketidaknyamanan harian, tetapi juga memicu risiko kesehatan yang meningkat, terutama pada kelompok rentan.
Perubahan cuaca yang cepat dapat menurunkan daya tahan tubuh dan meningkatkan kerentanan terhadap batuk, pilek, atau flu. M. Hisyam, warga Cicalengka, Kabupaten Bandung, berbagi pengalaman pahitnya. Selama Juli, anaknya, Iza, usia dua tahun, sudah tiga kali demam dan flu. Ibu berusia 32 tahun ini mengeluh, “Saya pun yang dewasa merasa tidak nyaman, apalagi anak. Pagi bisa cerah tapi sore hujan. Kadang pagi hujan, sore malah cerah dan sudah susah ditebak,” katanya belum lama ini.
Cuaca yang berubah cepat pagi dingin, siang panas, sore hujan deras ternyata membawa risiko serius. Penelitian lintas-negara menunjukkan bahwa perubahan suhu harian ekstrem atau diurnal temperature range (DTR) terkait lonjakan kematian akibat penyakit pernapasan dan kardiovaskular. Analisis National Library of Medicine menyebutkan risiko kematian terkait DTR naik 0,2–7,4%, meningkat seiring kenaikan suhu rata-rata global. Misal di Virginia, penelitian 15 tahun menunjukkan risiko kematian meningkat hingga 20% ketika DTR melebihi 20 °C, paling tinggi satu hingga dua hari setelah fluktuasi ekstrem.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan dampak jangka panjang perubahan iklim terhadap kesehatan, seperti stres panas, malnutrisi, malaria, dan diare. Diperkirakan dampak ini dapat menyebabkan sekitar 250.000 kematian tambahan per tahun pada periode 2030–2050. Di wilayah tropis, riset International Journal of Environmental Research and Public Health (2022) menemukan korelasi kuat antara variabilitas iklim termasuk fluktuasi suhu dan curah hujan dengan peningkatan kasus penyakit berbasis vektor seperti demam berdarah dengue, malaria, dan chikungunya.
Perubahan pola cuaca, terutama hujan di luar musim, menciptakan genangan air yang menjadi habitat nyamuk penular penyakit. Penelitian yang sama menekankan bahwa variabilitas iklim tropis tidak hanya memengaruhi kenyamanan termal manusia, tetapi juga siklus hidup vektor penyakit. Kelembapan tinggi memperpanjang umur nyamuk, sementara suhu hangat mempercepat masa inkubasi virus. Akibatnya, risiko penularan penyakit meningkat bahkan di bulan yang sebelumnya dianggap aman secara musiman.
Fenomena astronomi turut diperhatikan oleh masyarakat Bandung Raya akhir Juli. Fluktuasi cuaca terasa berbeda karena beberapa warga mengeluhkan udara lebih dingin dari biasanya. Adi Permana, karyawan swasta di Kota Bandung, mengatakan tidak kuat berangkat kerja pagi hari tanpa jaket ganda karena suhu bisa mencapai 18 derajat. Guru Besar Astronomi ITB, Taufiq Hidayat, menjelaskan fenomena ini bertepatan dengan aphelion, titik terjauh Bumi dari Matahari dalam orbit tahunannya.
Meski istilah aphelion terdengar langka, pengaruhnya terhadap suhu di Bandung sangat kecil. Sensasi dingin lebih karena efek musiman dari kemiringan sumbu Bumi, bukan jarak ke Matahari. Menurut Taufiq, penyebab utama cuaca kacau adalah anomali iklim akibat pemanasan global. Interaksi atmosfer, suhu laut yang hangat, dan kondisi daratan menggeser pola musim yang sebelumnya stabil, sehingga kemarau bisa tetap basah dengan hujan deras di luar jadwal, memicu risiko bencana.
Intensitas hujan tinggi dalam waktu singkat sering membuat drainase kewalahan, memicu genangan, dan melumpuhkan aktivitas. Fenomena ini bukan sekadar masalah cuaca harian, tetapi indikasi nyata perubahan iklim. Pemanasan global mengacaukan keteraturan musim yang sebelumnya dapat diprediksi. BMKG memperkirakan kemarau basah ini akan bertahan hingga Oktober 2025, dipicu lemahnya Monsun Australia dan suhu muka laut hangat di selatan Indonesia. Kombinasi ini menjaga kelembapan tinggi, memicu awan hujan meski seharusnya musim kering.
Data BMKG menunjukkan suhu permukaan laut di Jawa Barat masih hangat, mendukung pembentukan awan konvektif penyebab hujan. Kelembapan udara lapisan 850–700 mb mencapai 55–92%, di Bandung Raya 50–90%. Teguh Rahayu, Kepala Stasiun Geofisika BMKG Bandung, menegaskan suhu minimum Juli 2025 tercatat 18,4°C, normal untuk puncak kemarau. Dingin berlebih yang dirasakan warga lebih dipengaruhi dinamika atmosfer dan laut aktif, termasuk Madden Julian Oscillation (MJO), gelombang Rossby ekuatorial, dan daerah konvergensi di Jawa Barat.
Lonjakan atau penurunan suhu secara tiba-tiba menggerus daya tahan tubuh. Dampaknya paling berat pada anak-anak, lansia, dan penderita penyakit kronis. Fluktuasi suhu harian berpotensi memicu gangguan pernapasan, memperparah asma, bahkan pneumonia. Kesiapsiagaan menjadi kunci. Tanpa mitigasi bencana efektif, kemarau basah bisa menimbulkan kerugian besar melebihi gangguan aktivitas harian. Kota besar seperti Bandung menghadapi tantangan serius. Perubahan cuaca mendadak menguji infrastruktur, sistem peringatan dini, dan kesiapsiagaan masyarakat.
Taufiq menekankan kota perlu segera beradaptasi dengan percepatan perubahan cuaca. Kenaikan setengah derajat suhu rata-rata global dalam dua hingga tiga dekade dapat mengubah wajah kota dan kehidupan warga. Semua sinyal perubahan perlu dicermati, baik astronomi maupun kemampuan membaca cuaca, agar masyarakat dan kota bisa lebih siap menghadapi dampak perubahan iklim.