JAKARTA – Di tengah meningkatnya tekanan dalam dunia kerja, Gen Z kini mulai beralih ke fenomena baru yang disebut micro-retiring, atau istirahat sejenak dari pekerjaan dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan liburan biasa. Tren ini semakin populer di kalangan anak muda yang mengutamakan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, serta lebih fokus pada kesehatan mental dibandingkan dengan kestabilan karier jangka panjang.
Apa Itu Micro-Retiring?
Micro-retiring merujuk pada jeda kerja sementara yang cukup lama, yang memungkinkan seseorang untuk menghabiskan waktu jauh dari dunia pekerjaan untuk beristirahat dan melakukan hal-hal yang mereka nikmati tanpa tekanan pekerjaan. Fenomena ini pertama kali dipopulerkan melalui buku "The 4-Hour Workweek" karya Tim Ferriss yang terbit pada 2007. Dalam buku tersebut, Ferriss mengusung konsep bekerja lebih efisien dan menciptakan waktu luang yang lebih banyak untuk menjalani hidup.
Namun, meski sudah diperkenalkan lebih dari satu dekade lalu, tren micro-retiring kini semakin berkembang pesat, terutama di kalangan generasi muda. Peningkatan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dan kesejahteraan diri menjadi faktor pendorong utama fenomena ini. Banyak dari mereka yang merasa lelah dengan tekanan pekerjaan yang terus meningkat dan mencari cara untuk beristirahat secara menyeluruh dalam waktu yang cukup lama.
Mengapa Gen Z Memilih Micro-Retiring?
Generasi Z dikenal dengan keterbukaannya dalam membicarakan isu-isu kesehatan mental dan kesejahteraan diri. Mereka lebih cenderung memilih keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi daripada sekadar mengejar kestabilan karier jangka panjang. “Bagi kami, penting untuk merasakan keseimbangan dalam hidup. Micro-retiring memberi kesempatan untuk merefleksikan diri, mengisi ulang energi, dan melakukan hal-hal yang benar-benar saya nikmati,” ujar Anais Felt, salah satu individu yang memilih untuk berhenti sejenak dari pekerjaan korporat dan menjalani gaya hidup micro-retiring.
Felt, yang berhenti dari pekerjaan korporatnya selama enam bulan, mengaku bahwa keputusan tersebut membawanya pada perubahan besar dalam kesehatannya. “Setelah beberapa bulan tanpa tekanan pekerjaan, saya merasa lebih sehat, lebih bertenaga, dan mental saya jauh lebih baik. Saya merasa bahwa waktu untuk diri sendiri adalah investasi untuk masa depan yang lebih sehat,” lanjut Felt.
Manfaat Kesehatan Mental dari Micro-Retiring
Bagi banyak orang, terutama mereka yang terperangkap dalam rutinitas pekerjaan yang menegangkan, micro-retiring menawarkan kesempatan untuk menyembuhkan dan meremajakan kesehatan mental. Jeda waktu yang lebih lama dari dunia kerja dapat memberi ruang bagi individu untuk mengeksplorasi minat pribadi, bepergian, atau sekadar beristirahat. Selain itu, micro-retiring juga memberi kesempatan bagi seseorang untuk lebih mengenal dirinya sendiri tanpa tekanan deadline atau ekspektasi profesional yang terus membebani.
Peningkatan fokus pada kesehatan mental memang menjadi alasan utama di balik pilihan ini. Gen Z lebih sadar akan dampak stres yang diakibatkan oleh pekerjaan yang tak henti-hentinya. "Sebelum memutuskan untuk mengambil jeda, saya merasa tertekan dan mudah lelah. Setelah mengambil waktu untuk diri sendiri, saya menemukan kembali kebahagiaan dan semangat dalam hidup," kata Anais Felt, menggambarkan pengalamannya setelah memilih untuk berhenti bekerja sementara.
Risiko dan Tantangan Micro-Retiring
Meski manfaatnya jelas, micro-retiring bukan tanpa risiko. Salah satu kekhawatiran terbesar terkait dengan fenomena ini adalah hilangnya stabilitas karier. Dengan mengambil waktu panjang untuk beristirahat, seseorang mungkin kehilangan peluang kerja atau bahkan harus memulai kembali dari awal. “Terlalu lama beristirahat dari dunia kerja dapat memperlambat kemajuan karier, terutama jika rekan sejawat melanjutkan perjalanan karier mereka tanpa henti,” ujar Paul J. McCarthy, seorang penasihat keuangan yang menyoroti potensi kerugian finansial dari keputusan micro-retiring.
Selain itu, jeda panjang dari pekerjaan dapat menurunkan motivasi dan tujuan hidup bagi sebagian orang. "Ada potensi untuk kehilangan arah dalam hidup jika terlalu lama berada di luar dunia kerja. Tanpa tujuan atau rutinitas yang jelas, seseorang bisa merasa terombang-ambing," tambah McCarthy, yang memperingatkan akan dampak jangka panjang dari keputusan micro-retiring pada kestabilan finansial.
Perencanaan yang Matang: Kunci Keberhasilan Micro-Retiring
Untuk memaksimalkan manfaat dari micro-retiring, para ahli menekankan pentingnya perencanaan yang matang. Keputusan untuk beristirahat sementara dari dunia kerja harus didasari dengan pertimbangan yang matang, baik dari segi keuangan maupun keseimbangan pribadi. Mengatur tabungan yang cukup untuk mendukung hidup selama masa micro-retiring dan merencanakan tujuan jangka panjang sangat penting agar keputusan ini tidak berisiko merugikan karier atau finansial seseorang.
“Micro-retiring memang dapat memberikan manfaat psikologis yang luar biasa, tetapi hal ini harus dilakukan dengan hati-hati. Tanpa perencanaan yang baik, dampaknya bisa merugikan di masa depan,” ujar McCarthy, menekankan perlunya strategi untuk memastikan bahwa jeda kerja ini tidak mengganggu pertumbuhan karier atau kestabilan finansial seseorang.
Micro-Retiring sebagai Pilihan untuk Kesejahteraan
Micro-retiring adalah tren yang berkembang di kalangan Gen Z yang lebih mengutamakan kesejahteraan pribadi daripada mengejar karier yang padat dan penuh tekanan. Meskipun memberikan manfaat besar bagi kesehatan mental dan fisik, keputusan untuk beristirahat sejenak dari pekerjaan ini tetap harus dipertimbangkan dengan matang. Tanpa perencanaan yang baik, micro-retiring dapat berdampak pada stabilitas finansial dan perkembangan karier jangka panjang.
Untuk memastikan kesuksesan micro-retiring, setiap individu harus menyesuaikan keputusan ini dengan tujuan hidup, kondisi keuangan, dan kesiapan mental. Dengan cara ini, micro-retiring bisa menjadi langkah yang positif untuk meningkatkan kualitas hidup tanpa mengorbankan masa depan.