JAKARTA - Indonesia kini dihadapkan pada potensi besar di sektor energi terbarukan yang dapat menjadi game changer bagi pengembangan infrastruktur pembangkit listrik nasional. Sebuah laporan terbaru dari Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan bahwa negara ini memiliki potensi sebesar 333 gigawatt (GW) dari 632 proyek energi terbarukan skala utilitas yang dianggap layak finansial. Laporan yang berjudul "Unlocking Indonesia’s Renewables Future: The Economic Case of 333 GW of Solar, Wind, and Hydro Projects" tersebut menyebutkan bahwa potensi ini jauh melebihi target pemerintah yang diperlukan untuk memenuhi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).
Laporan dari lembaga think tank terkemuka itu menjelaskan bahwa kelayakan proyek-proyek ini didasarkan pada aturan tarif dan struktur pembiayaan yang berlaku di Indonesia. Potensi 333 GW ini terbagi menjadi tiga jenis pembangkit energi terbarukan yaitu: Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar 165,9 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dengan kapasitas 167 GW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Mini dan Mikrohidro (PLTM) dengan kapasitas 0,7 GW.
Martha Jesica Mendrofa, Koordinator Riset Sosial, Kebijakan, dan Ekonomi IESR, menyampaikan bahwa ada enam wilayah unggulan untuk pengembangan energi terbarukan ini berdasarkan kajian mendalam. "Potensi besar ini dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal lagi dengan tersedianya inovasi teknologi, pengembangan jaringan listrik yang lebih fleksibel dan modern," ujarnya. Papua dan Kalimantan, misalnya, menunjukkan prospek paling cerah untuk pengembangan PLTS, sedangkan Maluku, Papua, dan Sulawesi Selatan ideal untuk PLTB. Sementara itu, Sumatera Barat dan Sumatera Utara disebut-sebut dapat menjadi lumbung potensial untuk PLTM.
Kajian IESR menemukan bahwa sekitar 61 persen dari potensi 333 GW ini, atau sekitar 206 GW, memiliki tingkat Equity Internal Rate of Return (EIRR) yang tinggi, yaitu berada di atas 10 persen. Angka ini didasarkan pada aturan tarif dan struktur pendanaan proyek yang digunakan dalam kajian tersebut, membuat proyek ini semakin menguntungkan dan layak secara finansial.
Martha menekankan pentingnya dukungan dari regulasi untuk memaksimalkan potensi ini. Dia menyebut bahwa regulasi yang efisien dan jelas dengan alur perizinan yang lebih cepat sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya tarik bagi investor. "Faktor ini dapat meningkatkan daya tarik proyek energi terbarukan bagi investor," jelasnya.
Potensi energi terbarukan Indonesia yang lebih besar dari target pemerintah dalam RUKN yang ditargetkan akan mencapai sekitar 180 GW hingga 2060 ini mencerminkan peluang besar bagi negeri ini untuk bertransformasi ke energi bersih dan menurunkan ketergantungan pada energi fosil. Dengan regulasi dan kebijakan yang tepat dari pemerintah, potensi ini diprediksi akan menjadi tulang punggung dari pengembangan energi terbarukan Indonesia ke depannya.
Pintoko Aji, Koordinator Riset Kelompok Data dan Pemodelan IESR, juga menyuarakan pentingnya langkah konkret dari pemerintah melalui sejumlah rekomendasi. IESR mendorong pemerintah untuk mengalokasikan lahan khusus untuk proyek energi terbarukan, mempermudah perizinan, dan menetapkan target yang spesifik dan ambisius untuk energi terbarukan.
Trend peningkatan kapasitas energi terbarukan ini datang bersamaan dengan semakin berkembangnya teknologi yang mendukung efisiensi penggunaan dan penyaluran energi tersebut. Dengan inovasi yang terus berkembang, pengembangan jaringan listrik yang lebih fleksibel dan terintegrasi sangat diperlukan untuk mendukung masuknya energi terbarukan ke dalam sistem tenaga listrik nasional, sembari tetap menjaga stabilitas dan keandalannya.
Dengan potensi yang begitu besar dan strategi yang tepat, Indonesia berpeluang untuk menjadi salah satu pemimpin dalam adopsi energi terbarukan di kawasan Asia Tenggara dan memperkuat pertumbuhan ekonominya yang berkelanjutan. Ini bukan hanya soal memenuhi kebutuhan listrik nasional, tapi juga bagian dari upaya global dalam mengatasi perubahan iklim.