Industri

Produk Garmen Tanah Abang Laris Jelang Ramadan, Industri Tekstil Indonesia Hadapi Tantangan

Produk Garmen Tanah Abang Laris Jelang Ramadan, Industri Tekstil Indonesia Hadapi Tantangan
Produk Garmen Tanah Abang Laris Jelang Ramadan, Industri Tekstil Indonesia Hadapi Tantangan

JAKARTA — Pusat grosir terbesar di Asia Tenggara, Tanah Abang, Jakarta Pusat, kembali menunjukkan geliatnya menjelang Ramadan. Aktivitas jual beli di sentra pakaian yang selalu menjadi sorotan setiap tahun ini mulai meningkat. Hal ini memberikan sedikit cahaya optimisme di tengah kekhawatiran akan masa depan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia.

Harti, seorang pedagang yang telah lebih dari satu dekade berjualan di Tanah Abang, tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya. "Alhamdulillah, penjualan meningkat lebih dari separuh dibanding tahun-tahun kemarin. Udah ngebayar-lah. Terutama, Sabtu-Minggu," katanya penuh semangat saat ditemui di kiosnya. Penjualan Harti mencapai omzet hingga Rp5 juta per hari, terutama disokong oleh peningkatan jumlah pembeli yang datang langsung ke tempatnya.

Namun, meskipun ada lonjakan pengunjung dan peningkatan penjualan di Tanah Abang, hal ini tidak sepenuhnya menggambarkan perbaikan kondisi industri TPT dalam negeri. Di balik ramainya pembeli lokal, barang-barang impor masih mendominasi pasar. Dengan harga bersaing, mulai dari Rp35.000 hingga Rp150.000, produk impor menjadi pilihan banyak konsumen, memberikan tekanan pada produk lokal yang sebenarnya juga menawarkan nilai kompetitif.

Menurut Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), "Kalau yang dijual barang impor, walaupun penjualan naik, produktivitas industri bisa menurun. Nanti yang jadi korban adalah industri TPT yang mempunyai sekian juta tenaga kerja. Kalau ditotal, jumlahnya hampir 2,7 juta orang." Pernyataan ini menyoroti ancaman nyata dari arus masuk barang impor bagi keberlangsungan industri tekstil dalam negeri.

Barang impor memang terus menjadi tantangan signifikan bagi pelaku industri TPT di tanah air. Menurut Danang, harga garmen impor yang jauh lebih murah membuat produk lokal sulit bersaing. Selain itu, terdapat tantangan lainnya seperti penurunan tingkat utilisasi industri yang saat ini sekitar 70%, jauh dari tingkat optimal 90%. Fakta ini diperparah dengan tutupnya 68 perusahaan tekstil dari hulu ke hilir dalam tiga tahun terakhir.

Fenomena peningkatan penjualan di Tanah Abang tidak bisa dilepaskan dari dinamika yang mempengaruhi keseluruhan industri. Beberapa pabrik bahkan merelokasi operasinya ke Jawa Tengah, di mana biaya upah lebih rendah hingga 60% dibandingkan dengan Jawa Barat. "Bagaimana pun juga, industri padat karya sangat terpengaruh oleh besaran upah. Kalau upahnya sangat tinggi, industri padat karya enggak bisa bertahan. Ini yang harus dipikirkan lebih jauh," jelas Danang.

Namun, meskipun upah lebih rendah di Jawa Tengah, tantangan lain seperti banjir impor dan biaya produksi yang tinggi tetap menghantui. Dari 27 perusahaan tekstil besar yang berdiri di Jawa Tengah, 17 di antaranya terpaksa tutup. "Masalahnya utama yang kami identifikasi salah satunya adalah banjir impor. Kalau importasi ini tidak berhasil dikendalikan oleh pemerintah, ya selesai lah," tambahnya.

Untuk memitigasi tantangan ini, pemerintah diharapkan lebih proaktif dalam menegakkan regulasi yang mengatur impor barang. Danang menekankan perlunya "perbaikan regulasi dan penegakan hukum yang tegas untuk barang impor. Hanya 2 hal itu yang kami harapkan dari pemerintah," ujarnya. Selain itu, penyesuaian kebijakan terkait biaya kelistrikan, harga gas, dan pengupahan sektor padat karya juga dinilai esensial.

Meskipun Tanah Abang menjadi oase bagi para pedagang garmen lokal, masalah struktural yang membelenggu industri tekstil lebih luas perlu diatasi. Kombinasi antara kebijakan yang tepat, dukungan pemerintah, dan inovasi dalam produk lokal diharapkan dapat menghidupkan kembali industri TPT, sehingga produk lokal dapat benar-benar bersaing di rumah sendiri.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index