Perbankan

Perbankan Indonesia Tangguh Hadapi Ketidakpastian Ekonomi Global dan Domestik

Perbankan Indonesia Tangguh Hadapi Ketidakpastian Ekonomi Global dan Domestik
Perbankan Indonesia Tangguh Hadapi Ketidakpastian Ekonomi Global dan Domestik

JAKARTA  – Dunia perbankan Indonesia tengah menghadapi tantangan besar seiring dengan ketidakpastian yang muncul baik dari sisi ekonomi domestik maupun global. Tekanan ekonomi domestik yang diwarnai oleh penurunan daya beli masyarakat dan anomali konsumsi rumah tangga, ditambah dengan kebijakan luar negeri yang berubah-ubah, semakin memperburuk kondisi pasar. Perbankan Indonesia, dengan segala kesiapan dan kehati-hatiannya, telah merancang berbagai strategi mitigasi untuk menghadapi gejolak ekonomi ini.

Gejolak Ekonomi Domestik dan Dampaknya terhadap Perbankan

Adanya gejala anomali dalam pola konsumsi masyarakat menjelang Lebaran 2025. Salah satu indikasi kuat dari gejolak ekonomi domestik adalah terjadinya deflasi yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Secara tahunan, angka deflasi tercatat sebesar -0,09 persen, sementara secara bulanan mencapai -0,48 persen. Deflasi tersebut terutama dipengaruhi oleh penurunan harga barang kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan bakar rumah tangga.

Kondisi ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang memberikan diskon tarif listrik sebesar 50 persen untuk rumah tangga kelas menengah pada Januari hingga Februari 2025. Sementara itu, sektor rumah tangga kelas menengah dan menengah atas juga tertekan oleh fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terjadi di sektor manufaktur, serta tingginya tingkat pengangguran di sektor formal. Hal ini berdampak langsung pada penurunan daya beli yang mempengaruhi kinerja sektor perbankan.

Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (BNI), Okki Rushartomo, dalam keterangannya menyatakan bahwa pihaknya terus memantau perkembangan ekonomi domestik yang dipengaruhi oleh kebijakan eksternal, terutama dari Amerika Serikat.

“Kami memahami bahwa dampak ketidakpastian ini mempengaruhi kondisi pasar secara signifikan. Untuk itu, kami secara berkala melakukan scenario planning untuk memitigasi potensi risiko, khususnya pada aspek likuiditas, risiko pasar, dan risiko kredit,” ujarnya.

Dampak Kebijakan Trump Terhadap Ekonomi Indonesia

Selain tekanan domestik, ketidakpastian juga datang dari sisi kebijakan luar negeri. Pada awal April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan rencana kebijakan tarif resiprokal yang akan dikenakan pada semua negara, termasuk Indonesia. Indonesia diperkirakan akan dikenakan tarif impor sebesar 32 persen, yang tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan tarif dasar 10 persen. Meski kebijakan ini ditunda selama 90 hari, namun dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, khususnya sektor perbankan, tetap menjadi perhatian.

Dalam merespons kebijakan tersebut, Bank Negara Indonesia (BNI) telah menyiapkan berbagai langkah strategis. Okki Rushartomo menambahkan, “Penundaan penerapan tarif impor ini membuka peluang diskusi lebih lanjut. Namun, kami tetap mengantisipasi dampaknya dengan memitigasi risiko yang mungkin muncul. Kami fokus pada pengembangan dana murah dan memperkuat ekspansi kredit di segmen korporasi, khususnya bagi perusahaan-perusahaan blue chip yang berpotensi tumbuh,” ujar Okki.

Tanggapan Perbankan terhadap Dampak Kebijakan Global

Di sisi lain, Direktur Utama Permata Bank, Meliza M Rusli, menegaskan bahwa pihaknya terus memantau dampak kebijakan tarif AS terhadap portofolio kredit mereka. “Kami sangat berhati-hati dalam mengelola risiko kredit. Meski demikian, kami tetap optimis terhadap kualitas portofolio kredit kami yang terus membaik. Kredit tumbuh 6,6 persen pada Februari 2025, dan kami terus mengikuti perkembangan situasi ini dengan cermat,” ujarnya.

Bank Central Asia (BCA), yang merupakan salah satu bank terbesar di Indonesia, juga mengambil langkah serupa. EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA, Hera F Haryn, menyatakan bahwa BCA fokus pada dasar-dasar fundamental bisnis mereka dan berupaya untuk menjaga posisi permodalan dan likuiditas yang solid. “Kami yakin bahwa pemerintah Indonesia dan otoritas terkait memiliki langkah strategis untuk mengantisipasi ketidakpastian ini. Kami juga memantau perkembangan risiko konsentrasi kredit dan kualitas portofolio kami,” ujarnya.

OJK: Kualitas Kredit Perbankan Masih Terjaga

Meskipun perbankan menghadapi tekanan, kualitas kredit perbankan Indonesia tetap terjaga. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, melaporkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL) pada Februari 2025 tercatat di level 2,22 persen, sedikit meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di angka 2,18 persen. Namun, ia menekankan bahwa rasio NPL ini masih lebih rendah dibandingkan posisi yang tercatat pada tahun 2024 dan menunjukkan kualitas kredit yang relatif stabil.

Sementara itu, meskipun sektor perbankan Indonesia dapat mengelola dampak dari ketidakpastian eksternal, tantangan ekonomi domestik seperti meningkatnya pengangguran dan penurunan daya beli tetap menjadi sorotan. Ekonom senior dan Associate Faculty LPPI, Ryan Kiryanto, menjelaskan bahwa tekanan eksternal yang datang dari perubahan kebijakan tarif oleh AS dapat memperburuk proyeksi ekonomi Indonesia. “Ketidakpastian tarif ini sangat dinamis. Perencanaan bisnis yang baik harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi,” katanya.

Strategi Perbankan Menghadapi Ketidakpastian

Perbankan Indonesia, dalam menghadapi ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan luar negeri dan gejolak domestik, harus menjaga agar penyaluran kredit tetap tumbuh, meskipun risiko NPL meningkat. Ryan Kiryanto menyarankan agar perbankan lebih selektif dalam memberikan kredit, terutama pada sektor yang menghadapi potensi dampak negatif dari perubahan tarif impor atau kebijakan luar negeri lainnya. “Strategi adaptif dan selektif sangat diperlukan agar kualitas aset tetap terjaga, sementara pembiayaan kepada sektor-sektor yang memiliki prospek baik tetap dapat diberikan,” ujarnya.

Selain itu, perbankan juga perlu menjalankan pendekatan manajemen risiko yang lebih prudent dan melakukan evaluasi secara berkala terhadap potensi risiko yang muncul, baik dari sektor industri maupun pasar global.

Penurunan Daya Beli dan Risiko Sosial

Di sisi lain, dampak langsung dari penurunan daya beli ini dapat terlihat pada sektor konsumsi, yang berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Analis CORE Indonesia, Etikah Karyani, mengungkapkan bahwa sektor perdagangan besar dan eceran, yang juga banyak melakukan ekspor, menunjukkan tren NPL yang memburuk. NPL sektor ini pada Januari 2025 tercatat di angka 3,61 persen, meningkat dibandingkan dengan Desember 2024 yang berada pada angka 3,29 persen.

Menurut Etikah, kondisi ini memperlihatkan betapa pentingnya bagi sektor perbankan untuk melakukan analisis risiko secara mendalam dan adaptif. “Dengan adanya peningkatan NPL, perbankan perlu lebih selektif dalam memberikan kredit kepada sektor-sektor yang memiliki risiko tinggi. Langkah-langkah mitigasi harus lebih terarah,” katanya.

Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh faktor eksternal, seperti kebijakan tarif dari AS, serta gejolak ekonomi domestik yang berpengaruh terhadap daya beli masyarakat, memaksa sektor perbankan Indonesia untuk terus beradaptasi dan memperkuat manajemen risikonya. Meskipun demikian, kualitas kredit yang terjaga dan strategi mitigasi yang cermat menunjukkan bahwa sektor perbankan Indonesia mampu bertahan dalam menghadapi kondisi yang penuh tantangan ini. Keterampilan dalam merencanakan bisnis dengan hati-hati, serta menjaga likuiditas dan permodalan yang solid, akan menjadi kunci bagi bank-bank di Indonesia untuk tetap mampu beroperasi secara optimal di tengah ketidakpastian ekonomi global dan domestik yang melanda.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index